fenomena-sell-in-may-and-go-away-di-april_72.jpg

Fenomena "Sell in May and go Away" di April?

DUA minggu di April ini telah diwarnai oleh beberapa kejadian yang cukup menarik. Pertama-tama, bank sentral Jepang (Bank of Japan) di Jepang mengejutkan market setelah mereka memutuskan untuk agresif dalam kebijakan quantitative easingnya dalam usahanya untuk mengangkat tingkat inflasi ke dua persen di dalam dua tahun ke depan ini.

Kedua, kita juga telah menyaksikan bagaimana laju pertumbuhan ekonomi China terlihat menurun ke 7,7 persen yoy di triwulan I kemarin, di bawah level 7,9 persen yang terlihat di triwulan IV-2012 lalu. Data ini hanyalah merupakan salah satu dari banyaknya data-data yang bernada negatif mengenai prospek pertumbuhan ekonomi dunia di sepanjang tahun ini.

IMF sendiri juga telah menurunkan estimasi pertumbuhan ekonomi dunianya dari 3,5 persen ke 3,3 persen untuk 2013 ini. Yang terakhir, dan yang paling mengejutkan adalah kenyataan bahwa harga emas saat ini diperdagangkan di sekitaran USD1.380/oz, jauh di bawah level USD1.600-an/oz yang masih terlihat di Maret lalu.

Jatuhnya harga emas ini sendiri sebenarnya terjadi hanya dalam waktu empat sesi, dan sempat membuat para investor panik apalagi karena ianya telah menyebabkan aksi sell-off yang juga terjadi di hampir semua komoditas lainnya. Adanya satu aski risk aversion di market ini sendiri telah membuat banyak pengamat market yang berpendapat bahwa fenomena "sell in May and go away" telah dimulai lebih dahulu di April ini.

Sebenarnya, boleh dibilang kalau tiga kejadian-kejadian ini sendiri sebenarnya masih bersangkutan. Turun drastisnya harga emas dimulai dengan adanya koreksi di harga emas yang disebabkan oleh menguatnya nilai tukar USD di market. Harga emas sempat turun perlahan-lahan dari USD1.600/oz ke USD1.550/oz di awal April setelah USD menguat cukup tajam, terutama terhadap JPY di mana kurs USD-JPY sempat mendekati level 100.

Di akhir minggu kemarin, adanya risk aversion berhubungan dengan kekecewaan terhadap laju pertumbuhan China telah membuat adanya aksi panic selling di market yang akhirnya membuat harga emas jatuh drastis ke USD1.380/oz di saat ini. Mengapa USD bisa menguat tajam terhadap JPY? Mengapa risk aversion tiba-tiba mencuat dan apa sebenarnya prospek pertumbuhan China ke depan?

Ini adalah dua hal yang sangat penting untuk kita pelajari, apalagi kalau kita juga mau mengetahui jika aksi sell-off terhadap emas di akhir minggu lalu merupakan satu hal yang "overdone".

Penguatan USD terhadap JPY tidak sulit untuk kita mengerti. Kondisi di AS dan Jepang saat ini boleh dibilang cukup bertolak belakang. Data-data di AS sejak permulaan tahun ini menunjukan adanya recovery yang cukup lumayan di negara itu, apalagi dengan tingkat pengangguran kembali di 7,6 persen, level terendahnya sejak 2009.

Hal ini membuat bank sentral The Fed di AS mulai mempersiapkan untuk mengakhiri kebijakan quantitative easingnya. Di Jepang, bank sentral BOJ baru akan memulai kebijakan quantitative easingnya yang lebih agresif. Dalam teori, jika kedua kebijakan ini dijalankan dalam periode yang sama, maka jumlah uang dalam bentuk JPY yang akan dicetak akan terhitung lebih banyak dari jumlah uang dalam bentuk USD, dan intinya nilai tukar USD akan terus menguat terhadap JPY.

Kita juga bisa melihat kejadian yang serupa yang terlihat di nilai tukar USD terhadap GBP, juga dengan adanya antisipasi bahwa bank sentral BOE akan menambah dana untuk program quantitative easingnya. Mengenai prospek pertumbuhan ekonomi dunia ke depan sendiri, pandangan kami sebenarnya masih belum jauh berbeda dibandingkan pandangan kami di awal tahun ini.

Walaupun laju pertumbuhan China sedikit menurun ke 7,7 persen di triwulan I ini, kami menilai bahwa prospek pertumbuhan investasi di China masih sangat tinggi dan ini akan terus mengangkat perekonomiannya secara keseluruhan. Tingginya pertumbuhan kredit perbankan dan juga tingkat social financing yang masih sangat tinggi membuat kami tetap yakin bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi China masih bisa mencapai delapan persen untuk 2013 ini.

Yang sebenarnya menjadi masalah dan mengakibatkan aksi sell-off di market adalah kenyataan bahwa market memang terkesan terlalu optimistis terhadap prospek pertumbuhan ekonomi dunia sejak awal tahun ini. Kenyataan bahwa perekonomian dunia masih akan tumbuh sekitaran 3-3,5 persen untuk tahun ini menjadi satu berita yang pahit ditelan oleh para investor di market, dikarenakan pandangan mereka bahwa pertumbuhan perekonomian dunia seharusnya bisa untuk kembali di sekitaran empat persen di saat ini.

Di tengah kedua fenomena ini, emas merupakan aset yang paling mudah untuk "dihajar" apalagi mengingat bahwa tingkat spekulasi di sektor ini sendiri boleh dibilang tergolong tinggi sejak akhir 2011 lalu. Untuk sementara ini, kami melihat bahwa risiko berlanjut turunnya harga emas ini bisa jadi masih akan berterusan apalagi karena market terkesan telah memasuki bearish mode.

Walau bagaimana pun, faktor-faktor fundamental lainnya tidak bisa kita abaikan, dan tingkat suku bunga yang jelas masih terlihat sangat rendah di seluruh dunia saat ini berarti bahwa prospek harga emas sebenarnya masih cukup positif dalam jangka waktu satu sampai dua tahun mendatang.

Kalau penurunan harga emas kemarin terkesan sedikit overdone, dan juga ditambah pandangan kami terhadap potensi pertumbuhan ekonomi China yang masih cukup supportive, bukan tidak mungkin harga emas bisa kembali naik sampai akhir tahun ini setelah kita melihat berakhirnya aksi panic selling di market.(sumber http://economy.okezone.com)/@r_7

Berita Lainnya